Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 –
meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69
tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia.
Makamnya berada di Makassar. Diponegoro adalah putra sulung
Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada
tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan
(selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri
non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama
kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro
menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk
mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah
permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu
Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat
sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut
putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan
Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun,
sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama
Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di
tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah
muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat
setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat
simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya,
Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa
yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas
hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di
Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa
Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000
tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk
menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000
Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan dan pengasingan
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di
Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens
mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di
Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de
Kock dari Batavia.
28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De
Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar
menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda
telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux
pada 5 April.
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang
gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari
Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar.
Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan
istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng,
dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro
dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan
di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung
Jawa Makassar. Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh
puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan
peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan
Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu
Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo.
Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo snediri telah
masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem
Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam
pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo
dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui
tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih
Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan
Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai
barang bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu
dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya
pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak
tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak
turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda.
Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon
yang artinya penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung
perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi.
Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran
Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo
membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya
Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya
kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi &
Maluku.
Latar Belakang Perang Diponegoro
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog),
adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun
(1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia),
antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1]
melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta
bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban
yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen
Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000
jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda,
korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang
pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini
melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai
Perang Jawa. Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa,
pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup
kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah
jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga
melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan.
Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat
Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda
mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu
di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono
IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3
tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya,
pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang
mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat
seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya
memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat
Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati
Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam
dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran
Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan
Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut
patok-patok yang melewati makam tersebut.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro
karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman
beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan
diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan
meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak
lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang
tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman
Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa
yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai
basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung,
yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu
Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua
istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan
berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat
pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi
tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama
perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro.