HISTORIA.CO.ID - Ayah sebenarnya Ken Arok adalah seorang penguasa. Dia dilambangkan dengan dewa Brahma.
SUATU
hari, Ken Endok mengantarkan makanan untuk suaminya, Gajah Para, di
ladang. Di tengah jalan, dia dihadang dewa Brahma dan disetubuhi.
Suaminya tahu dan menceraikannya namun lima hari kemudian dia meninggal
dunia. Karena malu, Ken Endok membuang bayinya, Ken Arok, yang
mengeluarkan sinar di malam hari.
Ken Arok hidup mengembara sebagai
pencuri, perampok, pembunuh, dan pemerkosa. Dia dikejar-kejar rakyat dan
utusan Tumapel atas perintah raja Daha (Kediri). Berkat bantuan
dewa-dewa, dia selalu lolos. Bahkan dia diaku anak dewa Siwa dan
penjelmaan dewa Wisnu.
Ken Arok menghambakan pada penguasa (akuwu)
Tumapel, Tunggul Ametung, melalui perantaraan pendeta Lohgawe. Dia
membunuh Tunggul Ametung dan menikahi istri mudanya, Ken Dedes, yang
sedang mengandung tiga bulan. Dia pun menjadi akuwu di Tumapel. Semua itu dibiarkan saja oleh keluarga Tunggul Ametung dan rakyat Tumapel.
Setelah 40 tahun memimpin Tumapel, dia dinobatkan sebagai raja di Tumapel oleh para brahmana dari Daha. Sebagai raja
a, Ken Arok bergeral Sri Rajasa san Amurwabhumi.
Raja Daha, Dandan Gendis, pernah
mengatakan hanya kalau Bhatara Guru sendiri turun ke bumi, kerajaannya
dapat dikalahkan. Maka, atas izin para pendeta, Ken Arok memakai nama
Bhatara Guru untuk menyerang dan mengalahkan Daha. Dia menjadi maharaja
di Tumapel (kemudian terkenal dengan nama Singhasari) pada tahun 1222.
Kisah Ken Arok tersebut termuat dalam kitab Pararaton atau Katuturanira Ken Anrok (gubahan tahun 1478 dan 1486 tanpa disebutkan penggubahnya).
Kisah Ken Arok juga termuat dalam kitab Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca yang ditulis tahun 1365 dan Kidung Harsawijaya. Nagarakrtagama menyebut Ken Arok sebagai keturunan dewa yang lahir tanpa melalui kandungan atau tidak beribu. Sedangkan Kidung Harsawijaya menyebut Ky Anrok keturunan orang Pankur, anak Ni Ndok, yang menjadi raja dengan gelar Sri Rajasa.
Sejarawan Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, menafsirkan Ken Arok sebagai anak dari hasil perbuatan tidak senonoh antara Ken Endok dan laki-laki lain, dewa Brahma.
Ahli efigrafi Boechari lebih tegas lagi,
menyebut perbuatan tidak senonoh itu sebagai pemerkosaan. Tetapi, siapa
pelakunya, yang dilambangkan sebagai dewa Brahma? Boechari menafsirkan
penulis kitab Pararaton berusaha menutupi kenyataan bahwa
pemerkosa Ken Endok ialah orang yang berkuasa atas wilayah dan rakyat di
situ, yaitu Tunggul Ametung.
“Sebagai penguasa atau san amawa bhumi,
dia luput jangkauan hukum, bahkan dia mempunyai kekuasaan untuk
menyingkirkan laki-laki yang menjadi suami sah dari wanita yang berkenan
di hatinya,” tulis Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasastri.
Jika merujuk kitab hukum pada masa itu, pemerkosaan termasuk tindak pidana paradara;
si pemerkosa bisa dijatuhi hukuman mati. Bahkan ada pasal yang
menyebutkan suami perempuan yang diperkosa berhak membunuh si pelanggar
kesusilaan itu.
Boechori menguraikan beberapa alasan
mengapa Ken Arok adalah anak Tunggul Ametung dan Ken Endok. Dalam
masyarakat yang berpegang pada caturwarna (pembagian masyarakat
menjadi empat kasta: brahmana, ksatria, waisya, dan sudra), rasanya
tidak mungkin seorang petani, yang setinggi-tingginya masuk kasta waisya (petani, prajurit, dan pedagang) dan
tidak mustahil masuk kasta sudra (rakyat jelata), semudah itu dapat
merebut kekuasaan dan mendapat dukungan para brahmana. Ken Arok juga
dengan mudah diterima penghambaannya oleh Tunggul Ametung, yang pernah
memerintahkan penangkapannya karena mengacaukan daerah Tumapel. Setelah
membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok dengan mudah memperistri jandanya,
Ken Dedes, dan menjadi penguasa Tumapel tanpa campur tangan keluarga
Tunggul Ametung dan rakyat Tumapel.
Motif Ken Arok membunuh Tunggul Ametung
mungkin pertama-tama karena cinta, yang kedua karena hak waris. Dia
merencanakan membunuh ayahnya sebelum anak Tunggul Ametung dan Ken Dedes
lahir. Setelah berhasil, dia memperistri Ken Dedes agar semua warisan,
termasuk kekuasaan atas Tumapel, jatuh kepadanya. Untuk itu, Ken Arok
memaksa Mpu Gandring menyelesaikan keris pesanannya dalam waktu lima
bulan.
Dengan memperhatikan struktur sosial dan
kepercayaan zaman dahulu, Boechari telah memberikan tafsiran lain atas
cerita Ken Arok. “Mungkin pengarang Katuturanira Ken Anrok mau
menyembunyikan dua hal, yaitu bahwa Ken Anrok terlahir di luar
perkawinan, dan bahwa ia telah membunuh ayahnya sendiri,” tulis
Boechari.
Ken Arok, pendiri dinasti Rajasa yang
menurunkan raja-raja Singhasari dan Majapahit, meninggal pada tahun 1227
dan dimakamkan di Candi Kagenengan, kemungkinan terletak di atas Gunung
Katu, Malang.