Posted by DKT Tokoh & Sejarah on Friday, September 19, 2014
Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518
ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai
versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa
itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang
sama besarnya dengan Wastu Kancana
(kakeknya) alias Prabu
Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja
yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi.
Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
- "Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira
wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu
ngaran swaraga nira".
- Indonesia:
Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang
menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama
pribadinya.
Nama Siliwangi adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wewangi", artinya
sebagai pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i
Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri
Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang.
Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
- "Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu
Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau
negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
- Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
- Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup
rakyatnya di seluruh bumi Tatar Sunda. Kemasyurannya sampai kepada
beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang
lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada)
keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar
Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di
sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu
Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan
Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti
yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif
Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh
uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari
Pajajaran di Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima
(sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan
Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga
kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan
dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di
sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak
yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya
menyerahkan diri dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar
segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan
itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa
Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari
mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki
Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi
Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena
Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri
Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh
penguasa Pajajaran.
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa
pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada
pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang,
membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur) karena Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki
kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak
40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung
150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan
antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000
ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan
dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat
pasangan yang dijodohkan, yaitu:
- Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
- Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
- Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
- Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir
dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima
angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di
Cirebon.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap
menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh
karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang
ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri
Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab,
bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak
membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah
seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana,
Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama
ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka
masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya.
Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman
kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan
zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly
governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil;
mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke
kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar
(1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya
cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan
(kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga
yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman
Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan
di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia
disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia
dipusarakan di Rancamaya.